Fantasi Sedarah
Oleh
Rangga Riski Wijaya Mahasiswa Universitas Dian Nusantara
Kasus viralnya grup “Fantasi Sedarah” di Facebook menjadi cerminan nyata dari ancaman serius terhadap ruang digital yang seharusnya menjadi tempat edukatif dan produktif. Fenomena ini tidak hanya mengundang kecaman publik luas, tapi juga menjadi pengingat bahwa arus informasi dan kebebasan berekspresi di media sosial tak boleh dibiarkan tanpa batas etika dan hukum. Dalam konteks manajemen media digital, tantangan besar muncul ketika platform seperti Facebook gagal melakukan moderasi terhadap konten berbahaya yang melibatkan eksploitasi seksual terhadap anak dan glorifikasi hubungan sedarah (inses) atas nama “fantasi”. Hal ini memperlihatkan urgensi pengawasan lebih ketat dari pemerintah, penyedia platform, serta kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya literasi digital yang beretika.
Secara sosiologis, persepsi publik terhadap konten tersebut terbentuk karena adanya nilai-nilai budaya, norma agama, dan hukum yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Fantasi seksual yang melibatkan keluarga sendiri bukan hanya melanggar batas moral, tetapi juga melukai nilai kemanusiaan yang paling dasar. Emosi seperti marah, jijik, dan takut pun muncul secara masif, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki sensitivitas tinggi terhadap konten menyimpang. Akan tetapi, reaksi emosional saja tidak cukup. Harus ada tindakan konkret yang terstruktur, mulai dari pelaporan, pemblokiran, hingga penindakan hukum seperti yang sudah dilakukan oleh Bareskrim Polri. Ini adalah langkah penting, namun harus dibarengi dengan edukasi masif untuk mencegah munculnya kelompok serupa di masa mendatang.
Pendapat saya, kasus ini menunjukkan bahwa media sosial bisa menjadi ruang yang sangat gelap ketika tidak dikontrol. Konten semacam ini bukan hanya merusak individu, tapi juga menciptakan ruang pembenaran bagi perilaku menyimpang. “Fantasi” bukanlah pembenaran untuk kekerasan, apalagi eksploitasi anak. Ruang digital harus kembali dijadikan alat perjuangan nilai-nilai positif, bukan kebebasan tanpa batas yang membahayakan.
Kesimpulannya, kasus “Fantasi Sedarah” adalah alarm bahaya bagi pemerintah, platform digital, dan masyarakat untuk bersama-sama memperkuat sistem perlindungan ruang digital. Literasi digital yang menyentuh nilai moral dan etika harus diperluas, sekaligus menegaskan bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh melampaui batas-batas hukum dan kemanusiaan.